Rabu, 12 Juni 2013

onani atau masturbasi

PANDUAN ONANI ATAU MASTURBASI

Daftar Isi:

a. Devinisi Onani
b. Hukum Onani dalam Pandangan Islam
c. Batasan Dosa Besar dan Dosa Kecil
d. Tentang Zina Tangan atau Mata
e. Solusi Bagi Orang yang Sudah Terbiasa Onani

a. Devinisi Onani

Onani dalam bahasa Arabnya disebut dengan Istimna’ yang secara etimologi berarti berusaha mengeluarkan mani. Sedangkan secara terminologi onani adalah mengeluarkan mani dengan selain berhubungan suami istri, baik yang diharamkan, seperti mengeluarkan mani dengan tangannya sendiri, atau yang diperbolehkan seperti mengeluarkan mani dengan tangan istrinya. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah juz 3 halaman 97 dan Nihayat al-Muhtaj juz 3 halaman 169).

Pada asalnya istimna’ (onani/masturbasi) adalah mengeluarkan mani bukan melalui persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya. (Mu’jam Lughat al-Fuqaha juz 1 halaman 65).

Adapun mengeluarkan air mani dengan alat (sarana) tertentu selain tangan pada asalnya tidaklah berbeda dengan istmina’, dikarenakan subsatansi perbuatan itu adalah sama, yaitu sama-sama mengeluarkan mani untuk mendapatkan satu kenikmatan apakah dikarenakan kondisi terpaksa atau tidak, sehingga hukumnya bisa disamakan dengan hukum onani yang menggunakan tangan.

Prinsipnya onani adalah sebuah tindakan yang berfungsi sebagai cara merangsang alat kelamin dengan tangan atau benda lainnya untuk mendapat suatu taraf orgasme. Pada umumnya masturbasi menyangkut rangsangan dan pemuasan diri sendiri, walaupun demikian masturbasi lumrah dilakukan oleh dua orang dalam kapasitas hubungan heteroseksual atau homoseksual.

Kinsey dalam penelitiannya seperti dikutip dari buku “Woman’s Body”, mengatakan bahwa minimal 1 dari 6 wanita pernah melakukan masturbasi paling sedikit satu kali sepanjang perjalanan hidupnya. Dan kebanyakan dari para wanita menganggap masturbasi adalah cara yang paling cepat dan langsung untuk mendatangkan kenikmatan orgasme.

Onani biasanya identik dengan perbuatan yang dilakukan oleh seorang pemuda, sedangkan kalau pelakunya seorang cewek biasanya disebut masturbasi.

b. Hukum Onani dalam Pandangan Islam

Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam permasalahan onani:

1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Dengan landasan bahwa Allah Swt. telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang melampaui batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkanNya atas mereka.

Firman Allah Swt.: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-Mukminun ayat 5-7).

2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.

3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.

4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa di dalamnya, karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma’ seluruh Ulama, sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah Swt.: “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu.” (QS. al-An’am ayat 119). Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firmanNya: “Dia lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. al-Baqarah ayat 29).

5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah perilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.

6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al-hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al-Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitupula hukum onani seorang wanita (masturbasi) sama dengan hukum onani seorang laki-laki.” (Fiqh as-Sunnah juz 3 halaman 424-426).

Ibnu ‘Abidin menjelaskan tentang perkataan bahwa onani itu makruh: “Adalah secara dzahir onani adalah makruh yang tidak sampai haram. Hal itu dikarenakan bahwa kedudukan onani seperti orang yang mengeluarkan mani baik dengan merapatkan kedua paha atau menekan perutnya.” (Radd al-Mukhtar juz 17 halaman 75).

Dari pendapat-pendapat para ulama di atas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk ke dalam muqaddimah zina (forplay/pemanasan).

Allah Swt. Berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’ ayat 32).

c. Batasan Dosa Besar dan Dosa Kecil

Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika dibedakan dengan dosa kecil:

1. Dari Ibnu Abbas Ra. menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang Allah akhiri dengan neraka, kemurkaan, laknat atau adzab, demikian pula pendapat Imam al-Hasan Bashri.

2. Para ulama yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah Swt. dengan neraka atau hadd (hukuman) di dunia.

3. Iamam al-Ghozali dalam al-Basith mengatakan bahwa batasan menyeluruh dalam hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean dan peremehan suatu dosa maka ia termasuk ke dalam dosa besar.

4. Syeikhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah dalam al-Fatawa al-Kabirah menyebutkan bahwa setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah dosa besar.

5. Adapun diantara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Para pelakunya pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah Swt. melaknat orang yang merubah batas-batas tanah.” (Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi juz 2 halaman 113).

Dari beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah termasuk kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus menerus atau menjadi suatu kebiasaan. Hendaknya seorang muslim tidak berfikir kecilnya dosa suatu kemaksiatan yang dilakukannya akan tetapi terhadap siapa dia bermaksiat, tentunya terhadap Allah Swt. Yang Maha Besar lagi Maha Mulia.

d. Tentang Zina Tangan atau Mata

Abu Hurairah Ra. berkata bahwa Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhari).

Imam Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam Bab Zina Anggota Tubuh Selain Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui pandangan dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan membicarakan hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan tangannya berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol: “Pandangan dan pembicaraan dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fath al-Bari juz 11 halaman 28).

Meskipun demikian, hukum zina tangan, lisan dan mata tidaklah sama dengan zina sebenarnya yang wajib atasnya hadd. Si pelakunya hanya dikenakan teguran dan peringatan keras.

DR. Syeikh Wahbah az-Zuhailiy menyatakan: “Pelaku onani haruslah diberi teguran keras dan tidak dikenakan atasnya hadd.” (Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu juz 7 halaman 5348).

Begitupula penjelasan Ibnu Taimiyah dengan bersandar pada pendapat yang paling benar dari Imam Ahmad bahwa pelaku onani haruslah diberikan teguran keras. (Majmu’ al-Fatawa juz 24 halaman 145).

Ibnul Qoyyim juga mengatakan: “Adapun teguran adalah pada setiap kemaksiatan yang tidak ada hadd (hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu mencakup tiga macam:

1. Kemaksiatan yang di dalamnya ada hadd dan kafarat. (Contoh: mencuri, minum khomr, zina dan menuduh orang berzina).

2. Kemaksiatan yang di dalamnya hanya ada kafarat tidak ada had. (Contoh: berjima’ pada siang hari di bulan Ramadhan dan bersetubuh saat ihram).

3. Kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada hadd dan tidak ada kafarat. (Contoh: menyetubuhi seorang budak yang dimiliki bersama antara dia dan orang lain, mencium orang asing dan berdua-duaan dengannya, masuk ke kamar mandi tanpa mengenakan sarung, memakan daging bangkai, darah, babi dan yang sejenisnya. (I’lam al -Muwaqqi’in juz 2 halaman 183).

e. Solusi Bagi Orang yang Sudah Terbiasa Onani

DR. Muhammad Shaleh al-Munjid al-Wahabi, seorang ulama di Saudi Arabia, menyebutkan beberapa solusi bagi orang-orang yang terbiasa melakukan perbuatan ini, yaitu:

1. Hendaklah faktor yang mendorongnya untuk melepaskan diri dari kebiasaan onani adalah untuk menjalankan perintah Allah Swt. dan menghindari murkaNya.

2. Mendorong dirinya untuk mengambil solusi mendasar dengan menikah sebagai pelaksanaan dari wasiat Rasulullah Saw. kepada para pemuda dalam permasalahan ini.

3. Mengarahkan fikiran, bisikan dan menyibukan dirinya dengan perkara-perkara yang di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi dunia maupun akheratnya. Karena terus menerus menghayal akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu dan pada akhirnya menjadikannya kebiasaan sehingga sulit untuk dilepaskan.

4. Menjaga pandangan dari melihat orang-orang atau foto-foto yang membawa fitnah apakah itu foto dari orang yang hidup atau sekedar gambar dengan matanya secara langsung. Karena hal itu akan mendorongnya kepada perbuatan yang diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt.: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya…” (QS. an-Nur ayat 30). Juga sabda Rasulullah Saw.: “Janganlah engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang selanjutnya.” (HR. at-Tirmidzi).

5. Menyibukkan dirinya dengan berbagai ibadah dan menghindari untuk mengisi waktu-waktu kosongnya dengan maksiat.

6. Mengambil palajaran dari beberapa penyakit pada tubuh yang disebabkan kebiasaan melakukan onani seperti melemahkan penglihatan dan syahwat, melemahkan alat reproduksi, sakit punggung dan penyakit-penyakit lainnya yang telah disebutkan oleh para dokter. Demikian pula dengan penyakit kejiwaan seperti stress, kegalauan hati dan yang lebih besar dari itu semua adalah meremehkan waktu-waktu sholat dikarenakan berulang kalinya mandi dan juga merusak puasanya (apabila dalam keadaan puasa).

7. Menghilangkan berbagai cara untuk mencari kepuasan yang salah, dikarenakan sebagian pemuda menganggap bahwa perbuatan ini dibolehkan dengan alasan menjaga diri dari zina atau homoseksual padahal kondisinya tidaklah sama sekali mendekati perbuatan yang keji (zina/homoseksual) tersebut.

8. Mempersenjatai diri dengan kekuatan kehendak dan tekad serta tidak mudah meyerah terhadap setan. Hindari berada dalam kesendirian seperti bermalam sendirian. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad no. 6919 disebutkan bahwa Nabi Saw. melarang seseorang bermalam sendirian.

9. Mengambil cara-cara penyembuhan Nabi Saw. berupa puasa, karena ia dapat menekan gejolak syahwat dan seksualnya. Dia juga perlu menghindari beberapa solusi yang aneh, seperti bersumpah untuk tidak melakukannya lagi atau bernadzar dikarenakan jika ia kembali melakukan hal itu maka ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memutuskan sumpah yang telah dikokohkan. Jangan pula menggunakan obat-obat penekan syahwat karena di dalamnya terkandung berbagai bahaya bagi tubuh. Sedangkan segala sesuatu yang dipakai untuk menghentikan syahwat secara keseluruhan adalah haram.

10. Berkomitmen dengan adab-adab syari’ah saat tidur seperti berdzikir, tidur di atas sisi kanan tubuhnya, menghindarkan tidur telungkup yang dilarang Nabi Saw.

11. Berhias dengan kesabaran dan ‘iffah. Hal yang demikian dikarenakan diantara kewajiban kita adalah bersabar terhadap hal-hal yang diharamkan walaupun hal itu disukai oleh jiwa. Telah diketahui bahwa sifat iffah dalam diri pada akhirnya akan menghentikannya dari kebiasaan tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Barangsiapa yang menjaga diri (iffah) maka Allah akan menjaganya, barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka Allah akan menolongnya, barangsiapa yang bersabar maka Allah akan memberikan kesabaran kepadanya dan tidaklah seseorang diberikan suatu pemberian yang lebih baik atau lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari no. 1469).

12. Apabila seseorang telah jatuh ke dalam perbuatan maksiat ini maka segeralah bertaubat dan beristighfar serta melakukan perbuatan-perbuatan taat dengan tidak berputus asa karena putus asa adalah termasuk ke dalam dosa besar.

13. Akhirnya, diantara kewajiban yang tidak diragukan adalah kembali kepada Allah dan merendahkan dirinya dengan berdoa, meminta pertolongan dariNya untuk melepaskan diri dari kebiasaan ini. Ini adalah solusi terbesar karena Allah Swt. senantiasa mengabulkan doa orang yang berdoa apabila dia berdoa. (islam-qa.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar