onani atau masturbasi
PANDUAN ONANI ATAU MASTURBASI
Daftar Isi:
a. Devinisi Onani
b. Hukum Onani dalam Pandangan Islam
c. Batasan Dosa Besar dan Dosa Kecil
d. Tentang Zina Tangan atau Mata
e. Solusi Bagi Orang yang Sudah Terbiasa Onani
a. Devinisi Onani
Onani dalam bahasa Arabnya disebut dengan Istimna’ yang secara
etimologi berarti berusaha mengeluarkan mani. Sedangkan secara
terminologi onani adalah mengeluarkan mani dengan selain berhubungan
suami istri, baik yang diharamkan, seperti mengeluarkan mani dengan
tangannya sendiri, atau yang diperbolehkan seperti mengeluarkan mani
dengan tangan istrinya. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah juz 3
halaman 97 dan Nihayat al-Muhtaj juz 3 halaman 169).
Pada
asalnya istimna’ (onani/masturbasi) adalah mengeluarkan mani bukan
melalui persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang
lainnya. (Mu’jam Lughat al-Fuqaha juz 1 halaman 65).
Adapun
mengeluarkan air mani dengan alat (sarana) tertentu selain tangan pada
asalnya tidaklah berbeda dengan istmina’, dikarenakan subsatansi
perbuatan itu adalah sama, yaitu sama-sama mengeluarkan mani untuk
mendapatkan satu kenikmatan apakah dikarenakan kondisi terpaksa atau
tidak, sehingga hukumnya bisa disamakan dengan hukum onani yang
menggunakan tangan.
Prinsipnya onani adalah sebuah tindakan
yang berfungsi sebagai cara merangsang alat kelamin dengan tangan atau
benda lainnya untuk mendapat suatu taraf orgasme. Pada umumnya
masturbasi menyangkut rangsangan dan pemuasan diri sendiri, walaupun
demikian masturbasi lumrah dilakukan oleh dua orang dalam kapasitas
hubungan heteroseksual atau homoseksual.
Kinsey dalam
penelitiannya seperti dikutip dari buku “Woman’s Body”, mengatakan bahwa
minimal 1 dari 6 wanita pernah melakukan masturbasi paling sedikit satu
kali sepanjang perjalanan hidupnya. Dan kebanyakan dari para wanita
menganggap masturbasi adalah cara yang paling cepat dan langsung untuk
mendatangkan kenikmatan orgasme.
Onani biasanya identik dengan
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pemuda, sedangkan kalau pelakunya
seorang cewek biasanya disebut masturbasi.
b. Hukum Onani dalam Pandangan Islam
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam permasalahan onani:
1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa
onani adalah haram. Dengan landasan bahwa Allah Swt. telah memerintahkan
untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan
budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua
orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk ke dalam golongan
orang-orang yang melampaui batas dari apa yang telah dihalalkan Allah
bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkanNya atas mereka.
Firman Allah Swt.: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari
yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
(QS. al-Mukminun ayat 5-7).
2. Para ulama madzhab Hanafi
berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu
dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani
menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak
melakukannya. Hal ini didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan
yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas
untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga
mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh
syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi
menenangkan syahwatnya.
3. Para ulama madzhab Hambali
berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena
takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya
sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki
kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.
4. Ibnu
Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa di dalamnya,
karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya
adalah boleh menurut ijma’ seluruh Ulama, sehingga onani itu bukanlah
suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah Swt.: “Padahal
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya
atasmu.” (QS. al-An’am ayat 119). Dan onani tidaklah diterangkan kepada
kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firmanNya:
“Dia lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
(QS. al-Baqarah ayat 29).
5. Diantara ulama yang berpendapat
bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan
bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah
perilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah
berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang
memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.
6. Diantara
yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al-hasan dan sebagian ulama
tabi’in yang masyhur. Al-Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka
melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang
terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk
menjaga kesuciannya. Begitupula hukum onani seorang wanita (masturbasi)
sama dengan hukum onani seorang laki-laki.” (Fiqh as-Sunnah juz 3
halaman 424-426).
Ibnu ‘Abidin menjelaskan tentang perkataan
bahwa onani itu makruh: “Adalah secara dzahir onani adalah makruh yang
tidak sampai haram. Hal itu dikarenakan bahwa kedudukan onani seperti
orang yang mengeluarkan mani baik dengan merapatkan kedua paha atau
menekan perutnya.” (Radd al-Mukhtar juz 17 halaman 75).
Dari
pendapat-pendapat para ulama di atas tidak ada dari mereka yang secara
tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun
para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk ke dalam
muqaddimah zina (forplay/pemanasan).
Allah Swt. Berfirman: “Dan
janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’ ayat 32).
c. Batasan Dosa Besar dan Dosa Kecil
Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika dibedakan dengan dosa kecil:
1. Dari Ibnu Abbas Ra. menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa
yang Allah akhiri dengan neraka, kemurkaan, laknat atau adzab,
demikian pula pendapat Imam al-Hasan Bashri.
2. Para ulama
yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah
Swt. dengan neraka atau hadd (hukuman) di dunia.
3. Iamam
al-Ghozali dalam al-Basith mengatakan bahwa batasan menyeluruh dalam
hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa
ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan
suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean dan peremehan
suatu dosa maka ia termasuk ke dalam dosa besar.
4. Syeikhul
Imam Abu ‘Amr bin Sholah dalam al-Fatawa al-Kabirah menyebutkan bahwa
setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah
dosa besar.
5. Adapun diantara tanda-tanda dosa besar adalah
wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa neraka dan sejensnya
sebagaimana disebutkan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Para pelakunya
pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah
Swt. melaknat orang yang merubah batas-batas tanah.” (Shahih Muslim bi
Syarh an-Nawawi juz 2 halaman 113).
Dari beberapa definisi
dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah termasuk
kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus menerus atau
menjadi suatu kebiasaan. Hendaknya seorang muslim tidak berfikir
kecilnya dosa suatu kemaksiatan yang dilakukannya akan tetapi terhadap
siapa dia bermaksiat, tentunya terhadap Allah Swt. Yang Maha Besar lagi
Maha Mulia.
d. Tentang Zina Tangan atau Mata
Abu
Hurairah Ra. berkata bahwa Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah
menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia
mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan,
zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai
serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhari).
Imam Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam Bab Zina Anggota Tubuh
Selain Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang
dilakukan oleh kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan
mata melalui pandangan dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak
dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan membicarakan
hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan tangannya
berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.
Ibnu Hajar
menyebutkan pendapat Ibnu Bathol: “Pandangan dan pembicaraan dinamakan
dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk
melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya
adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fath
al-Bari juz 11 halaman 28).
Meskipun demikian, hukum zina
tangan, lisan dan mata tidaklah sama dengan zina sebenarnya yang wajib
atasnya hadd. Si pelakunya hanya dikenakan teguran dan peringatan keras.
DR. Syeikh Wahbah az-Zuhailiy menyatakan: “Pelaku onani haruslah diberi
teguran keras dan tidak dikenakan atasnya hadd.” (Al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu juz 7 halaman 5348).
Begitupula penjelasan Ibnu
Taimiyah dengan bersandar pada pendapat yang paling benar dari Imam
Ahmad bahwa pelaku onani haruslah diberikan teguran keras. (Majmu’
al-Fatawa juz 24 halaman 145).
Ibnul Qoyyim juga mengatakan:
“Adapun teguran adalah pada setiap kemaksiatan yang tidak ada hadd
(hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu
mencakup tiga macam:
1. Kemaksiatan yang di dalamnya ada hadd dan kafarat. (Contoh: mencuri, minum khomr, zina dan menuduh orang berzina).
2. Kemaksiatan yang di dalamnya hanya ada kafarat tidak ada had.
(Contoh: berjima’ pada siang hari di bulan Ramadhan dan bersetubuh saat
ihram).
3. Kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada hadd dan
tidak ada kafarat. (Contoh: menyetubuhi seorang budak yang dimiliki
bersama antara dia dan orang lain, mencium orang asing dan berdua-duaan
dengannya, masuk ke kamar mandi tanpa mengenakan sarung, memakan daging
bangkai, darah, babi dan yang sejenisnya. (I’lam al -Muwaqqi’in juz 2
halaman 183).
e. Solusi Bagi Orang yang Sudah Terbiasa Onani
DR. Muhammad Shaleh al-Munjid al-Wahabi, seorang ulama di Saudi
Arabia, menyebutkan beberapa solusi bagi orang-orang yang terbiasa
melakukan perbuatan ini, yaitu:
1. Hendaklah faktor yang
mendorongnya untuk melepaskan diri dari kebiasaan onani adalah untuk
menjalankan perintah Allah Swt. dan menghindari murkaNya.
2.
Mendorong dirinya untuk mengambil solusi mendasar dengan menikah sebagai
pelaksanaan dari wasiat Rasulullah Saw. kepada para pemuda dalam
permasalahan ini.
3. Mengarahkan fikiran, bisikan dan
menyibukan dirinya dengan perkara-perkara yang di dalamnya terdapat
kemaslahatan bagi dunia maupun akheratnya. Karena terus menerus
menghayal akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu dan pada
akhirnya menjadikannya kebiasaan sehingga sulit untuk dilepaskan.
4. Menjaga pandangan dari melihat orang-orang atau foto-foto yang
membawa fitnah apakah itu foto dari orang yang hidup atau sekedar
gambar dengan matanya secara langsung. Karena hal itu akan mendorongnya
kepada perbuatan yang diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt.:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandanganya…” (QS. an-Nur ayat 30). Juga sabda Rasulullah Saw.:
“Janganlah engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang
selanjutnya.” (HR. at-Tirmidzi).
5. Menyibukkan dirinya dengan berbagai ibadah dan menghindari untuk mengisi waktu-waktu kosongnya dengan maksiat.
6. Mengambil palajaran dari beberapa penyakit pada tubuh yang
disebabkan kebiasaan melakukan onani seperti melemahkan penglihatan dan
syahwat, melemahkan alat reproduksi, sakit punggung dan
penyakit-penyakit lainnya yang telah disebutkan oleh para dokter.
Demikian pula dengan penyakit kejiwaan seperti stress, kegalauan hati
dan yang lebih besar dari itu semua adalah meremehkan waktu-waktu sholat
dikarenakan berulang kalinya mandi dan juga merusak puasanya (apabila
dalam keadaan puasa).
7. Menghilangkan berbagai cara untuk
mencari kepuasan yang salah, dikarenakan sebagian pemuda menganggap
bahwa perbuatan ini dibolehkan dengan alasan menjaga diri dari zina atau
homoseksual padahal kondisinya tidaklah sama sekali mendekati perbuatan
yang keji (zina/homoseksual) tersebut.
8. Mempersenjatai diri
dengan kekuatan kehendak dan tekad serta tidak mudah meyerah terhadap
setan. Hindari berada dalam kesendirian seperti bermalam sendirian.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad no. 6919 disebutkan bahwa Nabi
Saw. melarang seseorang bermalam sendirian.
9. Mengambil
cara-cara penyembuhan Nabi Saw. berupa puasa, karena ia dapat menekan
gejolak syahwat dan seksualnya. Dia juga perlu menghindari beberapa
solusi yang aneh, seperti bersumpah untuk tidak melakukannya lagi atau
bernadzar dikarenakan jika ia kembali melakukan hal itu maka ia
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memutuskan sumpah yang telah
dikokohkan. Jangan pula menggunakan obat-obat penekan syahwat karena di
dalamnya terkandung berbagai bahaya bagi tubuh. Sedangkan segala
sesuatu yang dipakai untuk menghentikan syahwat secara keseluruhan
adalah haram.
10. Berkomitmen dengan adab-adab syari’ah saat
tidur seperti berdzikir, tidur di atas sisi kanan tubuhnya,
menghindarkan tidur telungkup yang dilarang Nabi Saw.
11.
Berhias dengan kesabaran dan ‘iffah. Hal yang demikian dikarenakan
diantara kewajiban kita adalah bersabar terhadap hal-hal yang
diharamkan walaupun hal itu disukai oleh jiwa. Telah diketahui bahwa
sifat iffah dalam diri pada akhirnya akan menghentikannya dari kebiasaan
tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Barangsiapa yang menjaga
diri (iffah) maka Allah akan menjaganya, barangsiapa yang meminta
pertolongan kepada Allah maka Allah akan menolongnya, barangsiapa yang
bersabar maka Allah akan memberikan kesabaran kepadanya dan tidaklah
seseorang diberikan suatu pemberian yang lebih baik atau lebih luas
daripada kesabaran.” (HR. Bukhari no. 1469).
12. Apabila
seseorang telah jatuh ke dalam perbuatan maksiat ini maka segeralah
bertaubat dan beristighfar serta melakukan perbuatan-perbuatan taat
dengan tidak berputus asa karena putus asa adalah termasuk ke dalam dosa
besar.
13. Akhirnya, diantara kewajiban yang tidak diragukan
adalah kembali kepada Allah dan merendahkan dirinya dengan berdoa,
meminta pertolongan dariNya untuk melepaskan diri dari kebiasaan ini.
Ini adalah solusi terbesar karena Allah Swt. senantiasa mengabulkan doa
orang yang berdoa apabila dia berdoa. (islam-qa.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar