Rabu, 05 Maret 2014

LIKA-LIKU BEDA SUKU

Menjalin hubungan dengan orang yang beda suku memang susah-susah gampang. Namun pada dasarnya, Firman Tuhan tidak melarang seseorang untuk menikah dengan orang yang berbeda suku. Justru secara biologis hal ini dipandang baik karena dapat menumbuhkan sifat-sifat baru pada keturunan mereka.
Kendala terberat yang sering dihadapi dalam hubungan lintas suku adalah restu orangtua. Dalam hal ini, sangat penting bagi Anda berdua untuk mulai membangun hubungan dengan keluarga pasangan. Tentu saja hal ini membutuhkan proses, tidak bisa terjadi begitu saja secara instan.
Yang dimaksud dengan keluarga pasangan tentu saja bukan hanya keluarga inti namun mencakup keluarga besar. Kenapa? Karena budaya Asia umumnya masih bersifat kekeluargaan. Sehingga ketika masuk dalam pernikahan, tidak hanya bicara tentang Anda dan keluarga inti tapi juga keluarga besar dari masing-masing pihak. Seringkali salah paham dan persepsi negatif muncul bukan dari pasangan yang akan menikah, namun dari saudara atau keluarga besar mereka. Hal ini memang sulit dicegah dalam hubungan beda suku. Dibutuhkan banyak pengertian, kesabaran dan toleransi baik dari pasangan maupun dari keluarga mereka.
Yang paling penting adalah tetap bersikap hormat pada keluarga pasangan bagaimanapun negatifnya sorotan yang muncul, dan terus tunjukkan bahwa hubungan Anda didasarkan pada cinta, ketulusann da kekudusan. Lama-kelamaan pihak keluarga yang kurang simpati pun dapat melunak dan akhirnya akan menerima Anda maupun pasangan Anda yang berbeda suku tersebut.
Jika hubungan akrab telah terbentuk, biasanya perbedaan bisa lebih dijembatani. Prasangka dan prejudice kesukuan juga bisa semakin berkurang akibat keakraban yang sudah terjalin. Jika komunikasi yang terjalin bisa semakin intens, keluarga pasangan dapat mengenal Anda dengan lebih dekat, demikian juga keluarga Anda terhadap pasangan. Yang penting adalah sopan-santun dan etika dalam menghadapi orangtua. Kuncinya adalah Anda perlu bersabar dan jangan mudah putus asa.
Saat restu orangtua didapat, tak otomatis segalanya menjadi mudah. Karena perbedaan suku juga berarti perbedaan budaya dan kebiasaan. Segala perbedaan ini tentu saja perlu disikapi dengan bijak. Hal-hal yang dapat Anda lakukan untuk memuluskan hubungan adalah:
Ceritakan budaya Anda kepada pasangan. Sangat penting bagi Anda berdua untuk menyadari bahwa Anda dibesarkan dalam lingkungan adat dan budaya yang berbeda.  Terdapat banyak perbedaan dalam nilai-nilai yang Anda anut. Segala perbedaan itu perlu untuk dibicarakan. Nah, dalam hal itu, Anda perlu membuka hati untuk belajar adat dan kebiasaan masing-masing. Buka pikiran Anda untuk memahami kebiasaan pasangan dan dengarkan dengan seksama meskipun hal itu tampaknya kurang penting buat Anda.
Jangan terlalu kritis dengan perbuatan pasangan yang melanggar kebiasaan atau nilai kesopanan yang dianut budaya Anda, demikian juga sebaliknya. Tugas Andalah untuk memperbaiki hal itu. Kesalahan maupun tindakan yang kelihatan bodoh memang sering terjadi dalam ketidakmengertian kita akan budaya pasangan. Jadi, maklumi saja hal itu dan beritahu pasangan mengenai kesalahan "bodoh" yang dilakukannya ketika Anda telah berdua.
Rela belajar dan berubah di tengah keluarga pasangan untuk menghormati mereka. Budaya Anda dan pasangan bisa jadi bertolak belakang dalam beberapa segi. Saat Anda bersama keluarga pasangan, Anda akan diperhadapkan pada hal-hal yang bila Anda lakukan, Anda akan "melanggar" budaya dan juga nilai-nilai yang Anda anut selama ini. Dalam situasi seperti ini, hanya satu kuncinya, bersikaplah fleksibel. Sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan, tak ada salahnya Anda lakukan untuk menghormati keluarga pasangan Anda.
Jangan paksa pasangan Anda untuk merubah kebiasaannya. Kebiasaan yang dimaksud di sini adalah karena pengaruh budaya dan lingkungan keluarganya. Bahkan jika itu adalah kebiasaan buruk sekalipun, yang harus Anda lakukan adalah memberikan dorongan untuk membuatnya berubah bukannya memaksa pasangan untuk mengubah hal itu.
Hal yang utama dan terutama dari hal ini adalah terus libatkan Tuhan dalam hubungan Anda. Saat Anda memprioritaskan Tuhan, konflik apapun yang Anda hadapi, jalan keluar pasti akan selalu Anda temukan dengan bimbingan-Nya. Dengan hati yang senantiasa dipenuhi oleh kasih sejati akan Tuhan, otomatis Anda pun akan sanggup mengasihi pasangan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Masa pranikah adalah masa bagi Anda berdua untuk belajar dan memaknai komitmen untuk mengasihi. Karena saat Anda pada akhirnya masuk ke dalam pernikahan, hubungan Anda harus merefleksikan kasih dari Yesus sendiri yang membuat Anda bertahan menghadapi segala konflik dan masalah dalam keluarga.

BERBEDA SUKU, AKAN ADAKAH SOLUSINYA?

Ego akan kesukuan masih membudaya pada sebagian masyarakat kita. Hal ini menyangkut pandangan bahwa hanya sukunya saja yang terbaik dan menganggap sebelah mata pada mereka yang tidak sesuku. Keegoan ini pun sering terjadi pada masalah perjodohan.
Putuskan saja pacarmu. Adat Istiadat, Budaya dan Suku kita berbeda sama dia.
Pernah dengar ucapan seperti itu? Anda pernah mengalaminya? Atau malah pembaca sekalian pernah mengucapkan hal itu kepada anak-anak anda?
Kenyataan seperti itu sudah pernah saya alami sebanyak dua kali, maka dari itu saya amat mengerti bila ada juga yang merasakan hal yang sama.
Di tahun 2008 Ketika saya masih kuliah D3 dulu, saya pernah mempunyai teman dekat. Sebutlah namanya Hendri. Layaknya orang lain yang pacaran, Hubungan itu pernah mengalami pasang surut. Entah karena sifatnya yang bak Don Juan secara dia anak band, sifatnya yang cemburuan terhadap teman-teman lelaki saya ataupun karena kesibukannya bekerja sebagai marketer di salah satu perusahaan telekomunikasi. Namun masalah tersebut masih bisa kami selesaikan.
Saya mengetahui dengan jelas perbedaan suku dan budaya diantara kami namun kami tidak pernah membuat itu jadi masalah, sampai suatu ketika ibu saya menanyakan asal usulnya. Ya pasti saya bilang terus terang apa adanya kepada ibu saya. Sontak ibu saya terkejut dan mengatakan  “adat istiadat kita berbeda nak, cari pacar lain aja”. Namun saat itu saya tak mengindahkan perkataan ibu dan masih saja melanjutkan hubungan dengan Hendri.
Setahun juga hubungan kami berjalan dan sejak diketahui oleh ibu tentu saja beliau tak merestuinya. Berkali-kali saya diperingati oleh ibu sampai ibu saya marah dan berkata “pacaran aja sana, nikah sekalian tapi restu mama tak pernah kamu dapatkan. Mama bilang gak boleh ya gak boleh”.
Lalu dengan berat hati saya memutuskan Hendri dengan alasan “kita ‘gak cocok lagi, banyak kali masalah selama kita pacaran, yang kamu selingkuhlah, masalah kita mengganggu kuliahku”. Namun saya tak mungkin berkata padanya tak direstui ibu karena beda suku.
Ketidaksukaan mama pada Hendripun ditunjukkan saat saya comma di Rumah Sakit dimana Hendri ingin membantu letak tidur saya yang sudah melorot, namun disanggah oleh ibu “jangan pegang-pegang”. Lalu hendripun meninggalkan ruangan.
Selanjutnya di tahun 2010 setelah saya mulai pulih, saya menjalin hubungan lagi dengan seorang pria, sebutlah namanya Bagas. Bagas ini adalah seorang mahasiswa keperawatan yang cukup pintar dalam soal pendidikan maupun ilmu agamanya sehingga saya yakin mengenalkan bagas kepada ibu saya karena type pria seperti bagas yang ibu saya suka. Ketika Bagas datang ke rumah, sambutan dari ibu saya sangat baik.
Hubungan ini cukup mulus karena Bagas bukan type pria yang flamboyant jadi sayapun cukup tenang. Sampai suatu ketika Bagas mengatakan “kita berbeda suku, aku takut orang tua ku ‘gak merestui kita”. Aku Cuma terdiam lalu berkata, maksudnya gimana? Lalu bagaspun bercerita, “dulu abangku pernah punya pacar berbeda suku dengan kami, ketika abang kenalin ke mama, memang mama sambutannya baik walau agak dingin tapi waktu kakak itu pulang mama suruh putusin cewek itu. Mau ‘gak mau ya putus mereka”. Terus abangku yang nikah kemarin itu kan sama orang sesuku kami juga, itupun dijodohin.
Lalu saya mengatakan, “lha,, kita gimana donk? Apa mesti putus juga?”. “gak lah, aku bakal cari moment yang tepat untuk ngomong sama orang tua ku tapi jangan sekarang, biarin aku tenang sampai siap sidang, sabar ya,, sedikit lagi nanti aku janji omongin sama ortuku ketika nanti aku wisuda kamu juga harus hadir,” katanya.
“Baik, pegang janjimu itu ya, aku tagih lagi nanti saat kamu mau wisuda”. Lanjutku. Hubungan ini pun kami jalani seperti biasa walaupun terkadang ada perbedaan pemahaman diantara kami.
Sidang pun selesai dan ia telah memberitahukan jadwal wisudanya sekaligus ia meminta saya untuk hadir. Dua minggu sebelum ia wisuda ibu saya pergi ke kotanya dan sempat membawakan kue untuknya. Ia amat senang menerimanya.
Dengan gembira iapun pulang dan memakan kue itu bersama ibunya dan ibunya bertanya, “kok enak, dari siapa ini?”. “Ooo dari mamanya teman ma”, jawabnya. “Teman apa teman? Kok ngasih kue sih? pacarmu ya?” Berondong ibunya lagi. “Iya, emang pacar dan kami serius”, jawabnya. Orang mana dia? Orang dari suku A, lanjutnya. “Oooo,, jangan ya nak, ‘gak boleh, beda suku sama kita” gak ada cerita lagi, tambah ibunya.
Lalu saya mendesak, bertanya bagaimana tanggapan ibunya. Ia pun menjawab, “ibu ‘gak restu. “ Ok, fine. Aku udah nemu jawabannya, berarti ini waktunya untuk kita pisah, aku tahu ini berat, tapi aku berusaha”, sambungku. “aku mau samamu”, katanya. Aku pun menjawab, “kamu mau sama kau, tapi ibumu ‘gak mau sama aku.. sama aja, restu gak kita dapatkan. Lebih baik pisah”. Dan iapun setuju walaupun ia masih mengatakan cinta lewat SMS, lalu sayapun mengatakan kalau saya sudah punya pacar lagi. Sejak itulah ia berhenti menghubungi saya.
Ketika saya ceritakan kepada ibu saya, beliau mengatakan, “Insya Allah nanti ada yang terbaik”. Lalu saya tambahkan, “Ya, mak tapi nanti kalau ami punya pacar lagi tolong mak jangan permasalahin soal beda suku dan beliau pun menyetujuinya, asalkan ‘gak beda agama, tambahnya.
Memang benar, orang tua memiliki kepentingan yang luar biasa untuk memberi yang terbaik bagi anaknya, tentu dengan tujuan ingin membuat anaknya bahagia. Meski sering tanpa disadari jalan yang mereka tempuh terkadang terkesan “egois”. Tak memikirkan perasaa anak yang sudah berusaha mencari pasangan yang terbaik untuk hidupnya. Begitulah, kacamata orangtua kerap berbeda dengan anak. Hingga ukuran kebahagiaannya pun jadi berbeda.
Saya tahu pasti, Sangat berat menghadapi kenyataan seperti yang sudah saya utarakan diatas. Namun hendaklah orang tua bersikap adil dan bijaksana juga terhadap anaknya. Bukankah Tuhan menciptakan kita dari berbagai macam suku untuk saling melengkapi? Bukankah perbedaan itu yang menyebabkan kita satu? Demokratis juga diperlukan dalam keluarga demi terciptanya keharmonisan.
Selamat Pagi
Auda Zaschkya