Ego akan kesukuan masih membudaya
pada sebagian masyarakat kita. Hal ini menyangkut pandangan bahwa hanya
sukunya saja yang terbaik dan menganggap sebelah mata pada mereka yang
tidak sesuku. Keegoan ini pun sering terjadi pada masalah perjodohan.
Putuskan saja pacarmu. Adat Istiadat, Budaya dan Suku kita berbeda sama dia.
Pernah dengar ucapan
seperti itu? Anda pernah mengalaminya? Atau malah pembaca sekalian
pernah mengucapkan hal itu kepada anak-anak anda?
Kenyataan seperti itu
sudah pernah saya alami sebanyak dua kali, maka dari itu saya amat
mengerti bila ada juga yang merasakan hal yang sama.
Di tahun 2008 Ketika
saya masih kuliah D3 dulu, saya pernah mempunyai teman dekat. Sebutlah
namanya Hendri. Layaknya orang lain yang pacaran, Hubungan itu pernah
mengalami pasang surut. Entah karena sifatnya yang bak Don Juan secara
dia anak band, sifatnya yang cemburuan terhadap teman-teman lelaki saya
ataupun karena kesibukannya bekerja sebagai marketer di salah satu
perusahaan telekomunikasi. Namun masalah tersebut masih bisa kami
selesaikan.
Saya mengetahui dengan
jelas perbedaan suku dan budaya diantara kami namun kami tidak pernah
membuat itu jadi masalah, sampai suatu ketika ibu saya menanyakan asal
usulnya. Ya pasti saya bilang terus terang apa adanya kepada ibu saya.
Sontak ibu saya terkejut dan mengatakan “adat istiadat kita berbeda nak, cari pacar lain aja”. Namun saat itu saya tak mengindahkan perkataan ibu dan masih saja melanjutkan hubungan dengan Hendri.
Setahun juga hubungan
kami berjalan dan sejak diketahui oleh ibu tentu saja beliau tak
merestuinya. Berkali-kali saya diperingati oleh ibu sampai ibu saya
marah dan berkata “pacaran aja sana, nikah sekalian tapi restu mama tak pernah kamu dapatkan. Mama bilang gak boleh ya gak boleh”.
Lalu dengan berat hati saya memutuskan Hendri dengan alasan “kita ‘gak cocok lagi, banyak kali masalah selama kita pacaran, yang kamu selingkuhlah, masalah kita mengganggu kuliahku”. Namun saya tak mungkin berkata padanya tak direstui ibu karena beda suku.
Ketidaksukaan mama
pada Hendripun ditunjukkan saat saya comma di Rumah Sakit dimana Hendri
ingin membantu letak tidur saya yang sudah melorot, namun disanggah oleh
ibu “jangan pegang-pegang”. Lalu hendripun meninggalkan ruangan.
Selanjutnya di tahun
2010 setelah saya mulai pulih, saya menjalin hubungan lagi dengan
seorang pria, sebutlah namanya Bagas. Bagas ini adalah seorang mahasiswa
keperawatan yang cukup pintar dalam soal pendidikan maupun ilmu
agamanya sehingga saya yakin mengenalkan bagas kepada ibu saya karena
type pria seperti bagas yang ibu saya suka. Ketika Bagas datang ke
rumah, sambutan dari ibu saya sangat baik.
Hubungan ini cukup
mulus karena Bagas bukan type pria yang flamboyant jadi sayapun cukup
tenang. Sampai suatu ketika Bagas mengatakan “kita berbeda suku, aku takut orang tua ku ‘gak merestui kita”. Aku Cuma terdiam lalu berkata, maksudnya gimana? Lalu bagaspun bercerita,
“dulu abangku pernah punya pacar berbeda suku dengan kami, ketika abang
kenalin ke mama, memang mama sambutannya baik walau agak dingin tapi
waktu kakak itu pulang mama suruh putusin cewek itu. Mau ‘gak mau ya
putus mereka”. Terus abangku yang nikah kemarin itu kan sama orang
sesuku kami juga, itupun dijodohin.
Lalu saya mengatakan, “lha,,
kita gimana donk? Apa mesti putus juga?”. “gak lah, aku bakal cari
moment yang tepat untuk ngomong sama orang tua ku tapi jangan sekarang,
biarin aku tenang sampai siap sidang, sabar ya,, sedikit lagi nanti aku
janji omongin sama ortuku ketika nanti aku wisuda kamu juga harus
hadir,” katanya.
“Baik, pegang janjimu itu ya, aku tagih lagi nanti saat kamu mau wisuda”. Lanjutku. Hubungan ini pun kami jalani seperti biasa walaupun terkadang ada perbedaan pemahaman diantara kami.
Sidang pun selesai dan
ia telah memberitahukan jadwal wisudanya sekaligus ia meminta saya
untuk hadir. Dua minggu sebelum ia wisuda ibu saya pergi ke kotanya dan
sempat membawakan kue untuknya. Ia amat senang menerimanya.
Dengan gembira iapun pulang dan memakan kue itu bersama ibunya dan ibunya bertanya, “kok enak, dari siapa ini?”. “Ooo dari mamanya teman ma”, jawabnya. “Teman apa teman? Kok ngasih kue sih? pacarmu ya?” Berondong ibunya lagi. “Iya, emang pacar dan kami serius”, jawabnya. Orang mana dia? Orang dari suku A, lanjutnya. “Oooo,, jangan ya nak, ‘gak boleh, beda suku sama kita” gak ada cerita lagi, tambah ibunya.
Lalu saya mendesak, bertanya bagaimana tanggapan ibunya. Ia pun menjawab, “ibu
‘gak restu. “ Ok, fine. Aku udah nemu jawabannya, berarti ini waktunya
untuk kita pisah, aku tahu ini berat, tapi aku berusaha”, sambungku.
“aku mau samamu”, katanya. Aku pun menjawab, “kamu mau sama kau, tapi
ibumu ‘gak mau sama aku.. sama aja, restu gak kita dapatkan. Lebih baik
pisah”. Dan iapun setuju walaupun ia masih mengatakan cinta lewat
SMS, lalu sayapun mengatakan kalau saya sudah punya pacar lagi. Sejak
itulah ia berhenti menghubungi saya.
Ketika saya ceritakan kepada ibu saya, beliau mengatakan,
“Insya Allah nanti ada yang terbaik”. Lalu saya tambahkan, “Ya, mak
tapi nanti kalau ami punya pacar lagi tolong mak jangan permasalahin
soal beda suku dan beliau pun menyetujuinya, asalkan ‘gak beda agama, tambahnya.
Memang benar, orang
tua memiliki kepentingan yang luar biasa untuk memberi yang terbaik bagi
anaknya, tentu dengan tujuan ingin membuat anaknya bahagia. Meski
sering tanpa disadari jalan yang mereka tempuh terkadang terkesan
“egois”. Tak memikirkan perasaa anak yang sudah berusaha mencari
pasangan yang terbaik untuk hidupnya. Begitulah, kacamata orangtua kerap
berbeda dengan anak. Hingga ukuran kebahagiaannya pun jadi berbeda.
Saya tahu pasti,
Sangat berat menghadapi kenyataan seperti yang sudah saya utarakan
diatas. Namun hendaklah orang tua bersikap adil dan bijaksana juga
terhadap anaknya. Bukankah Tuhan menciptakan kita dari berbagai macam
suku untuk saling melengkapi? Bukankah perbedaan itu yang menyebabkan
kita satu? Demokratis juga diperlukan dalam keluarga demi terciptanya
keharmonisan.
Selamat Pagi
Auda Zaschkya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar